Terdapat sekian dalil atas kewajiban zakat dalam harta perniagaan, baik dari al-Quran maupun Hadits. Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik. (Al-Baqarah [2]: 267).
Ath-Thabari, Ar-Razi dan pakar-pakar tafsir lainnya mengartikan “kasb” dalam ayat ini dengan perdagangan. Rasulullah e juga memerintahkan kepada para sahabat untuk mengeluarkan zakat dari harta yang dipersiapkan untuk diperjualbelikan, sebagaimana dalam Hadis riwayat Abu Dawud dari Samurah bin Jundab.
Yang dinamakan harta dagangan adalah semua yang digunakan untuk diperjualbelikan dalam berbagai jenisnya, baik berupa barang, atau berupa jasa, seperti jasa transportasi, perhotelan dan semacamnya, baik diusahakan oleh perorangan maupun perserikatan seperti C.V atau P.T dll. Demikian sebagaimana disampaikan oleh al-Habib Ahmad bin Hasan al-Aththas dalam Tadzkîrun-Nâs (hlm, 239).
Termasuk dalam kategori perniagaan adalah membeli dengan tujuan sebagai investasi yang kelak akan dijual apabila memperoleh keuntungan, walaupun disertai dengan tujuan dipergunakan sendiri selama belum terjual, seperti membeli tanah, motor, mobil dll.
Tidak termasuk perniagaan, adalah usaha yang dijalankan dengan cara pembibitan, yakni pengembangan usaha yang dihasilkan dari pengembangbiakan dari induk, seperti membeli telur ayam untuk dijual hasil penetasannya, membeli biji tanaman untuk dijual hasil tumbuhan yang dihasilkan. Sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Mahfuzh at-Tarmusi dalam Mauhibatu Dzil-Fadhl, juz 4 hlm 30.
Asas pendekatan zakat harta dagangan adalah sebagaimana berikut:
1. Kadar nishabnya adalah apabila sudah setara dengan salah satu dari nishab emas (77,50 gr) atau perak (543,35 gr). Namun karena pada umumnya nilai perak lebih rendah daripada nilai emas maka nishab dalam harta perniagaan langsung disetarakan dengan nishab perak yaitu 543,35 gram perak. Sedangkan kadar yang harus dikeluarkan adalah 2,5 %. (Mauhibatu Dzil-Fadhl, juz 4 hlm 40)
2. Acuan perhitungan yang digunakan adalah laporan buku tahunan (akhir haul), meliputi uang kas, piutang dapat tertagih dan barang yang siap diperdagangkan (persediaan barang).
3. Tidak dikenakan pada modal investasi/aktiva tetap, seperti bangunan, peralatan-peralatan dll.
4. Komoditi yang diperdagangkan adalah barang halal.
5. Diperhitungkan sebelum pajak.
6. Jika tidak memungkinkan membayar zakat dalam bentuk uang maka dapat menggantinya dengan materi lain yang tentunya dengan mempertimbangkan yang lebih bermanfaat pada mustahiq.
7. Diperkenankan membayar di muka (ta'jil)
8. Modal dagangan yang digunakan untuk kepentingan lain (qin’yah) tidak lagi dihitung dalam pengkrusan zakat.
Bentuk kekayaan dalam usaha dagang tidak akan lepas dari salah satu tiga bentuk ini, yaitu: (1) Kekayaan dalam bentuk barang (persediaan barang); (2) Uang tunai; (3) Piutang dapat tertagih.
Yang dimaksud dengan harta perniagaan yang wajib dizakati adalah ketiga bentuk harta di atas.
Contoh:
Perusahaan roti pada tutup buku akhir tahun per 1 Muharram 1430 H kondisinya adalah sebagaimana berikut:
Stok roti 10 kardus seharga 10.000.000; uang tunai (kas) Rp 15.000.000; piutang dapat tertagih Rp 2.000.000; jumlah Rp 27.000.000. zakat yang harus dikeluarkan adalah: 2,5 % x 27.000.000 = 675.000 (enam ratus tujuh puluh lima ribu rupiah).
Tata Cara Pembagian Zakat Kepada Mustahiq
Tata cara pembagian zakat adalah sebagaimana berikut:
1. Harta zakat dibagikan kepada semua mustahiq apabila harta zakat yang hendak dibagikan itu banyak dan mencukupi kepada semua sasaran zakat (ashnâf) yang ada, dan kebutuhannya relatif sama.
2. Diperbolehkan memberikan semua harta zakat kepada ashnâf tertentu, bahkan menurut sebagian ulama Mazhab Syafii, seperti Ibnul Mundzir, ar-Ruyani Abi Ishaq asy-Syairazi, zakat boleh diberikan kepada 3 orang fakir atau miskin. (Tanwîrul-Qulûb hlm 226), Ibnu Hajar dalam Syarhul-Ubâb mengutip pendapat imam yang tiga (selain asy-Syafi'i) boleh diberikan kepada satu orang. (I’ânatuh-Thâlibîn, juz 2 hlm 212)
3. Bagi mustahiq yang produktif dan memiliki potensi untuk diberdayakan, maka zakat untuk mereka hendaknya diberikan dengan bentuk yang dapat meningkatkan kemampuan dan keterampilan serta mendorong produktivitas mereka, tidak diberikan dalam bentuk yang membuat mereka justru menjadi konsumtif. Prinsipnya adalah mendorong mereka untuk dapat berkembang dan semakin produktif. Dengan demikian pada masa selanjutnya mereka bukan lagi menjadi mustahiq, bahkan bisa menjadi muzakki.
4. Zakat diberikan di desa di mana harta itu berada, dan tidak boleh diberikan ke desa lain, demikian menurut pendapat yang kuat dalam Mazhab Syafii. Namun, larangan ini tidak mutlak. Dalam keadaan tertentu memberikan zakat ke luar daerah dapat dibenarkan. Misalnya, di daerah zakat itu tidak ada lagi mustahiq, karena di desa itu sudah makmur dll. (al-Fiqh al-Islamî wa Adillatuhû, juz 2 hlm 892-893). Namun, ada pendapat lain, yang memperbolehkan memindah zakat secara tanpa syarat, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Ujail yang dikutip oleh I’ânatuth-Thâlibîn
Tidak ada komentar :
Posting Komentar